Ngeri-Ngeri Sedap, Sebuah Refleksi Zaman Terdisrupsi
Ngeri-NgeriSedap seolah mau menyatakan dengan tegas, siap atau tidak perubahan pasti terjadi. Perubahan dalam banyak hal, termasuk pola hubungan anak dan orangtua. Ini bukan hanya terjadi di Samosir atau di Toba sebagaimana di tampilkan dalam sinema yang sedang booming sebulan terakhir. Tetapi terjadi hampir di semua tempat, sebut saja di Jawa, di Bali, di Papua dan lain sebagainya.
Terjadi
keterkejutan dimana dalam rentang waktu yang bersamaan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi membawa manfaat dan buih/sampah yang merubah tatanan
nilai dan tradisi hingga dalam skop paling kecil, keluarga. Sebuah keniscayaan
yang menghawatirkan dan membuat Ngeri-Ngeri Sedap bagi banyak orang tua.
Orang tua
yang tidak move on dari pola dan
tatanan nilai pada masa kecilnya akan merasa Ngeri-Ngeri Sedap. Orang tua yang
tidak siap dengan perubahan dan membangun “kerajaan” seolah-olah dia hidup
selama-lamanya. Orangtua yang seolah hidup pada dan untuk satu zaman saja.
Hubungan anak
dan orang tua semakin Ngeri-Ngeri Sedap jika sumbatan dalam komunikasi tidak
dicairkan sebagai sebuah usaha dimana kedua pihak sama-sama mengalah dan
menang. Memaksa salah satu pihak saja misalnya orang tua mengerti “kehidupan”
sang anak atau sebaliknya akan menemui jalan terjal bahkan buntu.
Ngeri-Ngeri Sedap, mimpi orang tua
yang dititipkan pada anak
Banyak orang tua
yang menitipkan harapan dan cita-cita pribadinya pada anak-anaknya. Sebagai
contoh keinginan yang dulunya pernah tidak tercapai diharapkan dapat
dituntaskan dalam masa ketika anak-anaknya justru sudah seharusnya punya mimpi
dan dunia sendiri. Atau nilai-nilai yang diagungkan pada zamannya orang tua
diwajibkan menjadi patron dan tolak ukur keberhasilan pendidikan dan pekerjaan
sang anak. Ketika sang anak akhirnya bekerja bukan sebagaimana yang diharapkan,
itu menjadi aib yang menurunkan derajat dan harga diri yang memicu Ngeri-Ngeri
Sedap.
Ironisnya,
ada banyak orangtua yang seolah-olah menciptakan kondisi anak-anak hadir untuk
kepentingan dan remedial kegagalan mereka di masa lalu. Ketakutan dan
pengalaman traumatik di masa lampau di bawa-bawa ke dalam zaman yang sama
sekali berbeda. Anak-anak di satu sisi merasa di bentengi dan di sisi lain
seolah tidak mampu menghadapi sendiri tuntutan perubahan zaman. Ada banyak anak
yang hidup dalam bayang-bayang dan menjadi representasi orang tua tanpa batas.
Ini lebih parah dari Ngeri-Ngeri Sedap.
Ngeri-Ngeri
Sedap akan dimulai ketika memasuki fase kehidupan seperti menentukan
pendidikan, pekerjaan dan teman hidup kebanggaan dan kebahagiaan orang tua
menjadi nilai tertinggi dan prioritas utama. Pendidikan yang tinggi seperti
tidak mampu menolong, paling parah seolah-olah orangtua hidup selamanya untuk
menjadi penolong dan tempat bertanya. Mencoba melawan dan mengambil jalan lain
akan menjadi justifikasi anak yang gagal dan tidak menghormati orang tua.
Ngeri-Ngeri Sedap, Hidup di Zaman
Berbeda
Orang tua
yang pada awalnya mencoba memproteksi anak-anaknya dalam berbagai kesempatan,
tiba-tiba merasa kehilangan dan menganggap sang anak tersesat justru pada saat
yang bersamaan si anak menikmati “menemukan” dunia yang baru.
Sejatinya
yang menjadi kewajiban orangtua, mengajarkan (memberikan teladan) dan mewariskan
value/nilai-nilai kehidupan yang bernilai kekal dan universal. Pada saatnya
sang anak akan menentukan sendiri dan menjadikan “keluarga” sebatas referensi.
Pilihan hidup selanjutnya baik pendidikan, pekerjaan dan teman hidup ditentukan
sendiri dan merupakan kristalisasi nilai-nilai yang di peroleh baik dari
keluarga, pendidikan dan pengalaman.
Semakin jelas
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan dunia yang tidak
terbatas dan mengglobal. Disatu sisi kewajiban melestarikan nilai-nilai budaya
disisi lain perkembangan pengaruh kemajuan zaman terhadap kebudayaan sangat
dinamis. Tantangan yang sangat berat adalah mengaktualisasi nilai pada
asimilasi budaya kekinian.
Orang tua dan
anak tidak mungkin bersama selamanya. Orang tua sebaiknya berhenti berfikir
bahwa proteksinya mampu melindungi sang anak dalam segala hal. Orang tua yang
seolah menafikan jaminan pemeliharaan yang lebih besar yakni Providensia Allah.
Kereeeennn.. Teruslah berkarya pak Adil,
ReplyDeleteTerima kasih bu Eti, masih proses belajar. Terima kasih sudah berkunjung dan memberi motivasi, salam literasi
Delete