Ngeri-Ngeri Sedap, Sebuah Refleksi Zaman Terdisrupsi

Ngeri-ngeri sedap

Ilustrasi Ngeri-Ngeri Sedap (Pixabay.com)

Ngeri-NgeriSedap seolah mau menyatakan dengan tegas, siap atau tidak perubahan pasti terjadi. Perubahan dalam banyak hal, termasuk pola hubungan anak dan orangtua. Ini bukan hanya terjadi di Samosir atau di Toba sebagaimana di tampilkan dalam sinema yang sedang booming sebulan terakhir. Tetapi terjadi hampir di semua tempat, sebut saja di Jawa, di Bali, di Papua dan lain sebagainya.

Terjadi keterkejutan dimana dalam rentang waktu yang bersamaan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manfaat dan buih/sampah yang merubah tatanan nilai dan tradisi hingga dalam skop paling kecil, keluarga. Sebuah keniscayaan yang menghawatirkan dan membuat Ngeri-Ngeri Sedap bagi banyak orang tua.

Orang tua yang tidak move on dari pola dan tatanan nilai pada masa kecilnya akan merasa Ngeri-Ngeri Sedap. Orang tua yang tidak siap dengan perubahan dan membangun “kerajaan” seolah-olah dia hidup selama-lamanya. Orangtua yang seolah hidup pada dan untuk satu zaman saja.

Hubungan anak dan orang tua semakin Ngeri-Ngeri Sedap jika sumbatan dalam komunikasi tidak dicairkan sebagai sebuah usaha dimana kedua pihak sama-sama mengalah dan menang. Memaksa salah satu pihak saja misalnya orang tua mengerti “kehidupan” sang anak atau sebaliknya akan menemui jalan terjal bahkan buntu.

Ngeri-Ngeri Sedap, mimpi orang tua yang dititipkan pada anak

Banyak orang tua yang menitipkan harapan dan cita-cita pribadinya pada anak-anaknya. Sebagai contoh keinginan yang dulunya pernah tidak tercapai diharapkan dapat dituntaskan dalam masa ketika anak-anaknya justru sudah seharusnya punya mimpi dan dunia sendiri. Atau nilai-nilai yang diagungkan pada zamannya orang tua diwajibkan menjadi patron dan tolak ukur keberhasilan pendidikan dan pekerjaan sang anak. Ketika sang anak akhirnya bekerja bukan sebagaimana yang diharapkan, itu menjadi aib yang menurunkan derajat dan harga diri yang memicu Ngeri-Ngeri Sedap.

Ironisnya, ada banyak orangtua yang seolah-olah menciptakan kondisi anak-anak hadir untuk kepentingan dan remedial kegagalan mereka di masa lalu. Ketakutan dan pengalaman traumatik di masa lampau di bawa-bawa ke dalam zaman yang sama sekali berbeda. Anak-anak di satu sisi merasa di bentengi dan di sisi lain seolah tidak mampu menghadapi sendiri tuntutan perubahan zaman. Ada banyak anak yang hidup dalam bayang-bayang dan menjadi representasi orang tua tanpa batas. Ini lebih parah dari Ngeri-Ngeri Sedap.

Ngeri-Ngeri Sedap akan dimulai ketika memasuki fase kehidupan seperti menentukan pendidikan, pekerjaan dan teman hidup kebanggaan dan kebahagiaan orang tua menjadi nilai tertinggi dan prioritas utama. Pendidikan yang tinggi seperti tidak mampu menolong, paling parah seolah-olah orangtua hidup selamanya untuk menjadi penolong dan tempat bertanya. Mencoba melawan dan mengambil jalan lain akan menjadi justifikasi anak yang gagal dan tidak menghormati orang tua.

Ngeri-Ngeri Sedap, Hidup di Zaman Berbeda

Orang tua yang pada awalnya mencoba memproteksi anak-anaknya dalam berbagai kesempatan, tiba-tiba merasa kehilangan dan menganggap sang anak tersesat justru pada saat yang bersamaan si anak menikmati “menemukan” dunia yang baru.

Sejatinya yang menjadi kewajiban orangtua, mengajarkan (memberikan teladan) dan mewariskan value/nilai-nilai kehidupan yang bernilai kekal dan universal. Pada saatnya sang anak akan menentukan sendiri dan menjadikan “keluarga” sebatas referensi. Pilihan hidup selanjutnya baik pendidikan, pekerjaan dan teman hidup ditentukan sendiri dan merupakan kristalisasi nilai-nilai yang di peroleh baik dari keluarga, pendidikan dan pengalaman.

Semakin jelas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan dunia yang tidak terbatas dan mengglobal. Disatu sisi kewajiban melestarikan nilai-nilai budaya disisi lain perkembangan pengaruh kemajuan zaman terhadap kebudayaan sangat dinamis. Tantangan yang sangat berat adalah mengaktualisasi nilai pada asimilasi budaya kekinian.

Orang tua dan anak tidak mungkin bersama selamanya. Orang tua sebaiknya berhenti berfikir bahwa proteksinya mampu melindungi sang anak dalam segala hal. Orang tua yang seolah menafikan jaminan pemeliharaan yang lebih besar yakni Providensia Allah.

Sebagai sebuah refleksi membangun keluarga di zaman yang serba tidak pasti, Ngeri-Ngeri Sedap menjadi muncul di saat yang tepat.

2 Responses to "Ngeri-Ngeri Sedap, Sebuah Refleksi Zaman Terdisrupsi"

  1. Kereeeennn.. Teruslah berkarya pak Adil,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih bu Eti, masih proses belajar. Terima kasih sudah berkunjung dan memberi motivasi, salam literasi

      Delete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel