Mendidik Anak Manajemen Konflik Sejak Dini

Mendidik Anak Manajemen Konflik Sejak Dini
Ilustrasi Anak-anak dalam sebuah keluarga


Mendidik Anak Manajemen Konflik Sejak Dini. “Masalah besar di kecilkan, masalah kecil ditiadakan (di-nol-kan)” adalah sebuah pernyataan dari orang yang cenderung menghindari konflik. Ini jelas tidak mendidik. Sebenarnya setiap masalah sama besar dan kecilnya sesuai dengan urgensi dan esensinya, dampaknya saja yang berbeda. Masalah bukan sesuatu berbentuk materi yang bisa dibesar kecilkan seperti roti.

Penulis tidak pernah merasa salut dengan pasangan suami istri yang mengklaim bahwa selama pernikahan mereka tidak pernah ribut. Sedikitnya ada dua alasan yang mendasari. Pertama, cinta itu harus teruji dan ujian yang paling besar adalah ketika ada konflik. Kedua, jika pasangan tersebut tidak pernah berkonflik bagaimana caranya orang tua mengajari anak-anaknya dalam bentuk praktika (role model) terkait konflik dengan pasangan. Jangan sampai sekali konflik terjadi dampaknya fatal dan terbawa sampai mati, akibat emosi dan aspirasi yang tidak tersalurkan selama ini. Sejatinya masalah bukan untuk dihindari.

Ada banyak keluarga yang berusaha meredam dan meniadakan konflik. Sebaliknya ada keluarga yang sampai kakek nenek masih suka ribut bahkan sampai pukulan melayang. Ada lagi keluarga yang perdebatan yang paling “soft” sekalipun berakhir dengan diam-diaman. Intinya dalam sebuah relasi suka tidak suka persoalan pasti ada dan akan tetap ada sampai kapan pun selama masih ada kehidupan. Konflik yang muncul juga tidak memilah jenis orang, baik orang kaya-miskin, pintar-bodoh, sehat-sakit, susah-senang pasti mendapatkan porsi dan intensitas yang sama.

Bagaimana menghadapi dan mengatasi konflik seperti sebuah “seni” dan menjadikan perdebatan bahkan pertengkaran sekalipun menjadi sesuatu yang wajar/seharusnya terjadi tanpa meninggalkan goresan (akar pahit) di dalam hati menjadi nilai plus sebuah keluarga.

Mendidik Anak Manajemen Konflik Sejak Dini, Dimulai Dari Keluarga

Bagi keluarga yang berusaha meniadakan konflik, mungkin hal tersebut bisa diupayakan. Tetapi kenyataannya konflik juga terjadi dengan orang lain, bukan hanya sesama anggota keluarga. Orang lain yang dimaksud disini bahkan ada dua kelompok, orang yang sama sekali tidak ada hubungan keluarga dan orang yang menjadi anggota keluarga karena kekerabatan/pernikahan. Jelas bahwa meniadakan konflik adalah sebuah upaya yang sia-sia.

Menghadapi konflik yang dimulai dari sesama anggota keluarga (rumah) menjadi penting. Bukan hanya bagi orang tua, tetapi juga anak yang paling besar dan dituakan. Mengapa? Karena konflik keluarga yang baik harus ditengahi oleh seseorang yang dianggap cukup adil dan bisa diterima semua pihak. Tugas yang awalnya menjadi domain orang tua kelak akan diwariskan kepada anak paling besar terutama laki-laki.

Konflik keluarga yang tidak terbiasa diselesaikan dengan elegan, dimana seharusnya terdapat pengakuan rasa bersalah dan permohonan maaf akan mengakibatkan anak-anak yang ketika kelak menikah dan secara kebetulan berkonflik dengan pasangan bisa mengakibatkan diam-diaman bahkan sampai berbulan-bulan. Bayangkan bagaimana kualitas kasih sayang sebuah pasangan suami istri yang hidup serumah tetapi tidak berkomunikasi sampai berbulan-bulan. Itu mungkin hanya bisa diterima logika jika pasangan tersebut kita golongkan kepada sejenis mahluk langka/spesies baru/ras yang berasal dari dunia lain.

Sebaik mungkin konflik harus dikelola dengan cerdas sehingga tidak mengakibatkan permusuhan. Emosi, aspirasi, pengakuan bersalah, permohonan maaf harus bisa di orkestrasi justru menjadi bunga-bunga kehidupan yang bagi pasangan suami istri seharusnya dapat berfungsi meningkatkan kemesraan. Kelakuan orang tua menjadi text book yang akan di tiru 100% oleh anak-anaknya karena seni mengelola konflik adalah soft skill yang sama sekali tidak dipelajari di sekolah.

Manajemen Konflik Sejak Dini, Menggembleng Anak-Anak Menjadi Diplomat Ulung

Apa yang membedakan seorang anak dengan anak yang lain dalam menghadapi persoalan? Sekali lagi tempat dimana dia dibesarkan menjadi pembeda yakni keluarga. Jika seorang anak setiap bersinggungan kepentingan dengan anggota keluarga yang lain selalu berakhir dengan permusuhan, bagaimana mungkin berharap kelak dia akan menjadi seorang diplomat ulung atau menjadi duta besar?

Dalam tataran yang lebih luas, tidak ada satu negara mana pun di dunia ini yang tidak pernah berkonflik. Untuk hal tersebut diperlukan orang-orang yang berjiwa diplomat bukan hanya sekedar orang yang punya kemampuan verbal yang mumpuni yang dalam bahasa Batak biasa disebut parbada muncung (orang yang pandai bersilat lidah).

Penting untuk menerima konflik sebagai bagian dari kehidupan dan pendidikan/pembentukan dari Allah Sang Pencipta. Ketika konflik diselesaikan dengan elegan dan menjadi sebuah seni, akan melahirkan anak-anak yang tidak hanya mampu mengambil makna dan maanfaat dari setiap persoalan tetapi juga akan menjadi juru damai. Anak-anak yang jujur terhadap kesalahan sendiri dan secara kesatria dan besar hati memohon maaf kepada orang lain.

Keluarga seharusnya menjadi rahim dan tempat terbaik dimana bibit-bibit diplomat disemai dan bertumbuh menjadi figur-figur pembawa damai. Orang tua yang merasa bahwa umurnya tidak panjang lagi tidak perlu meminta: “baik-naiklah kalian anak-anakku setelah kepergianku” jika selama ini menajemen konflik telah di didik dan menjadi sebuah habit. Penting, Mendidik Anak Manajemen Konflik Sejak Dini. 

0 Response to "Mendidik Anak Manajemen Konflik Sejak Dini"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel