Menekuni Menulis, Mengasah Mental Petarung

Menekuni Menulis
Ilustrasi Menekuni Menulis (Pixabay.com)


Menekuni menulis bagi sebagian orang adalah pekerjaan ketika sedang di bangku sekolah. Ada perasaan lega ketika berhasil meraih puncak pendidikan berupa keahlian dan gelar akademik yang tahapan selanjutnya adalah pembangunan karir dalam pekerjaan, baik pekerjaan yang bertujuan menerima gaji atau “menggaji” diri sendiri. Dengan fokus pada pekerjaan, sejatinya beban untuk belajar keras (membaca dan menulis) akan berkurang drastis atau bahkan bukan prioritas utama.

Menekuni menulis bagi sebagian orang lain adalah takdir ketika seseorang baik dengan kesadaran dan keinginan sendiri atau karena tidak punya pilihan lain harus berkutat dengan dunia tulisan seperti wartawan, editor, penerbit dan lain sebagainya. Ada banyak orang dengan latar belakang pendidikan non jurnalistik/sastra menghabiskan hidupnya di meja redaksi, bahkan sukses menjadi penulis ternama. Sejatinya manusia sebagai makhluk paling mulia punya kemampuan adaptasi paling tinggi.

Hanya segelintir orang yang memang sejak awal ingin menekuni menulis atau menjadikan penulis sebagai cita-cita. Dalam rentang waktu yang panjang hingga kini menulis bukan bidang pekerjaan yang menarik dan membanggakan, terutama ketika meyakinkan seseorang yang akan dijadikan pasangan hidup. Disisi lain ada banyak penulis yang mengukir prestasi yang sulit dicapai seperti Nobel Kesusastraan dan nama yang abadi tak lekang ditelan zaman. Uniknya tidak sedikit juga penulis yang awalnya merasa tercebur, justru menemukan kehidupan dan penghidupan dengan menulis.

Menekuni menulis bagi setiap orang selalu punya kisah tersendiri. Untuk tujuan apapun menulis mensyaratkan keberanian, bahkan bagi orang yang awam “ sedikit kegilaan”. Tulisan menjanjikan banyak hal, popularitas, uang, harga diri, kepuasan batin dan kewarasan. Menulis adalah sesuatu yang mudah di gambarkan namun tidak selalu mudah untuk dilakukan. 

Menekuni Menulis, Butuh Strategi, Kreasi dan Inovasi

Ketika pertama sekali terpikir membuat blog, saya memutuskan untuk menuliskan topik-topik yang tidak menarik perhatian, dimana orang lain tidak terpikir untuk menuliskan hal tersebut. Tetapi yang menjadi persoalan kemudian adalah, tidak mudah mencari bahan tulisan dimana orang lain benar-benar tidak tertarik dengan topik tersebut.

Persoalan selanjutnya adalah, jika topik yang saya tulis tidak menarik lantas bagaimana mungkin saya berharap blog saya akan dibaca orang lain. Tidak sekedar dibaca tapi memberikan manfaat, menginspirasi dan tertarik membaca topik selanjutnya. Disinilah seseorang yang menekuni menulis harus punya mental petarung. Petarung yang berarti tidak boleh merasa “insecure” dengan penulis besar dan ternama.

Penulis sukses juga lahir dari nol, tidak ada bayi yang lahir langsung bisa menulis. Penulis besar juga lahir dari proses, butuh waktu dan perjuangan yang berbeda-beda bagi setiap orang. Itu bermakna setiap orang yang menekuni menulis baik pemula maupun yang sudah berulang kali memenangi lomba/penghargaan pasti butuh strategi, kreasi dan inovasi.

Menekuni menulis memaksa seseorang untuk bertarung dalam kompetisi dimana puluhan, ratusan bahkan ribuan orang menuliskan topik yang sama dengan perspektif berbeda untuk diterbitkan baik online maupun cetak. Menulis tidak mungkin dengan mempersempit ruang, dimana seolah-olah ada dunia dengan tulisan hanya satu yakni kita. Menulis merupakan kegiatan yang bertujuan membagikan kepada orang lain jadi mustahil menjadikan tulisan kita adalah satu-satunya di dunia.

Meniscayakan Pantang Menyerah

Ada orang yang pertama kali menulis langsung terbit di media/publisher ternama, yang lain harus menunggu tulisan yang ke seratus baru lolos dari meja redaksi/editor. Bagi saya penulis yang berhasil adalah yang kedua karena dia melampaui (mampu melalui) perjuangan dan mengalami proses pertumbuhan menjadi seorang yang terampil. Semua penulis sepakat menulis adalah keterampilan yang bisa di pelajari dan ketekunan adalah kata kunci.

Namun tidak semua orang beruntung sukses pada tulisan pertama, paling banyak justru hancur di percobaan pertama. Ditolak atau tidak direspon sama sekali merupakan kenyataan pahit dan bisa menimbulkan efek jera. Menulis membutuhkan mental pejuang yang jika ditolak semakin penasaran dan berusaha mencoba lagi. Untuk menjadi penulis yang berhasil bahkan lebih dari seorang pejuang, menjadi penakluk, terutama diri sendiri.

Menekuni menulis memerlukan disiplin dan konsistensi. Disiplin teratur menulis secara berkala dan konsisten mengangkat nilai-nilai yang dianggap bermanfaat. Sebuah kondisi yang mewajibkan kemampuan mengalahkan diri sendiri, Mengalahkan rasa takut (insecure), rasa malas, bahkan ketidakmampuan (merasa tidak mampu) itu sendiri.

Mulai menulis, berhenti menakzimkan kesempurnaan

Penulis yang matang berawal dari penulis pemula. Tulisan yang hebat berawal dari sebuah kesalahan (corat-coret). Bahkan ada banyak tulisan yang luar biasa lahir dari kondisi ketidaknyamanan, baik yang bersumber dari luar maupun dari dalam diri penulisnya. Ini menjadi gambaran tidak ada kondisi yang benar-benar ideal untuk menjadikan seseorang menjadi penulis yang baik. Masing-masing tulisan memiliki kisah dan takdir sendiri-sendiri.

Menunggu hingga tulisan kita dianggap sempurna adalah antitesis menekuni menulis. Tulisan yang baik bukanlah yang sempurna tetapi hadir dari niat untuk berbagi dan memberikan manfaat bagi orang lain. Selama tulisan tidak melanggar hukum (plagiat), menyinggung/menghina pihak lain (SARA), dan memenuhi kaidah penulisan sudah selayaknya dipublikasikan.

Untuk menjadi penulis yang hebat seorang penulis pemula harus berani, bermental petarung dalam mengungkapkan gagasan yang dia miliki. Hanya dengan jalan demikian seorang penulis bisa sampai kepada kesempurnaan. Menekuni menulis menjadi paripurna ketika tulisan itu hadir disaat yang tepat, membahas masalah yang tepat dan dibaca orang yang tepat. Sesederhana itu dianggap sempurna.

Ketekunan lebih bermakna daripada kesempurnaan. Tulisan yang diekstraksi oleh proses perjuangan melahirkan saripati yang bernilai. Bernilai tinggi lebih kepada kedalaman makna dan filosofi yang mendasari, bukan kepada penjualan sebuah karya tulis. Menekuni menulis membutuhkan upaya holistik, baik dari sisi penulis maupun diluar dirinya. Nah Itu dia, sebuah tantangan yang sempurna.

7 Responses to "Menekuni Menulis, Mengasah Mental Petarung"

  1. Kereen Pak, karya yang luar biasa. Bunda membaca tulisan Pak Adil sering merasa diri kurang PD menjadi penulis. Pak Adil lebih hebat dari Bunda dalam mengulik masalah. He he eh... Semangat Pak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih bunda, masih proses belajar belum bisa dibandingkan dengan bunda yang pencapaiannya sudah sangat luar biasa ๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™

      Delete
    2. Mantap lae, semakin hari semakin keren saja laeku ini.
      Semangat selalu lae

      Delete
  2. Mantap sanina, semangat terus. Kalau berkenan bisa mengunjungi arsitekta.com (web ta do i), disana penulisan artikel semaksimal mungkin sudah pakai teknik SEO. Mauleate๐Ÿ™

    ReplyDelete
  3. Mantap pak Adil, padat berisi dan menginspirasi.. Semangat pak, slm literasi

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel