Berani Tampil Beda

 Bagi umat Kristen hari ini adalah perayaan Jumat Agung, memperingati kematian Isa Almasih sekitar 2000-an tahun yang lalu. Pemerintah menetapkan hari ini sebagai libur nasional dan layaknya seperti hari Minggu umat Kristen melaksanakan ibadah di gereja masing-masing. Ada sesuatu yang menarik dan menggugah hati untuk bertanya terutama kepada diri sendiri: hampir semua orang yang hadir di gereja untuk mengikuti ibadah mengenakan pakaian serba hitam. Kebiasaan seperti ini lazimnya tampak ketika menghadiri upacara adat kematian seseorang sebagai simbol simpati atau empati kepada keluarga yang sedang berduka. Hal ini menjadi menarik karena saya tidak mengenakan pakaian hitam (saya merasa tidak sedang menghadiri upacara kematian) dan menjadi berbeda daripada yang lain. Seseorang yang saya kenal kemudian mengingatkan bahwa sebaiknya berpakaian serba hitam sama seperti yang lain, syukur bahwa hal itu tidak mengurangi semangat untuk mengikuti ibadah dan dapat mengikuti dengan hikmat sampai selesai.

Pertanyaan yang muncul adalah apa yang mendasari pemikiran bahwa pada perayaan Jumat Agung sebaiknya mengenakan pakaian serba hitam. Pertama: apakah kita sedang menghadiri upacara kematian? Jelas tidak, upacara kematian berbeda dengan peringatan kematian.. Yang kedua, kalau pakaian serba hitam adalah simbol simpati, kita mau menyatakan turut berdukacita kepada keluarga siapa? Kita bukan sedang menghadiri upacara kematian, dan lebih daripada itu kita tidak sedang “berduka”. Ketika menghadiri upacara kematian kita berduka, mungkin karena menurut kita usia yang meninggal masih muda, orangnya baik, anak-anaknya masih kecil, banyak kenangan yang indah dan kita akan berpisah untuk selama-lamanya. Satu pun dari syarat diatas tidak terpenuhi untuk dikaitkan  dengan ibadah hari ini.

Kita sering kali mengikuti sebuah trend tanpa menyadari sebenarnya hanya sedang terikut atau terpengaruh. Ini mengingatkan sebuah cerita pada sebuah institusi pendidikan berasrama. Setelah makan malam biasanya dilanjutkan dengan diskusi dan doa bersama. Seorang guru besar yang sudah cukup lanjut usia menjadi seseorang yang dituakan dan memimpin kegiatan yang rutin dilaksanakan setiap malam. Ketika sang guru besar memimpin doa, setiap kali selesai mengucapkan sebuah kalimat dia selalu menarik nafas dengan kuat seperti mengorok dengan suara yang cukup kuat untuk didengar semua orang yang hadir dalam kelompok tersebut. Uniknya, pada diskusi dan doa dihari selanjutnya beberapa murid mengikuti cara berdoa yang persis sama. Setelah sekian lama akhirnya sang guru besar merasa terganggu dan menyadari ada yang salah. Pada sesi diskusi dan doa selanjutnya sang guru besar berinisiatif memimpin dan sebelum acara selesai beliau menerangkan jika kebiasaan berdoa seperti yang dilakukannya disebabkan usia yang lanjut dan harus mengenakan gigi palsu. Tarikan nafas yang kuat setelah mengucapkan sebuah kalimat adalah untuk menjaga jangan sampai gigi palsu tanggal dan terjatuh. Hal ini masuk akal karena ketika berdoa kita menundukkan kepala, sehingga pada saat bicara posisi gigi palsu rentan untuk jatuh.

Memang ada banyak alasan untuk mengenakan pakaian serba hitam pada perayaan Jumat Agung dan itu bisa diperdebatkan. Namun satu hal, kita yang merayakan pada hari ini lebih kepada mengenang, menghayati dan memaknai sebuah pengorbanan bukan kematian semata. Peringatan kematian yang berbeda karena orang Kristen meyakini dengan kematian-Nya manusia berdosa diselamatkan. Bukankah dengan keyakinan tersebut seharusnya kita bersukacita? Karena ada seseorang yang bersedia mati untuk menebus dosa dan dengan cara tersebut kita diselamatkan. Jadi sungguh tidak tepat kita berduka dengan simbol pakaian serba hitam untuk sesuatu yang berdampak pada kebahagiaan abadi kita (kehidupan kekal).

Saya menghormati dan tidak melarang orang berpakaian serba hitam pada hari ini. Mungkin sedang berduka mengingat dosa mereka, tetapi saya memilih untuk tidak ikut-ikutan karena langkah kongkrit lebih dibutuhkan daripada sekedar simbol. Saya bersyukur melihat “berani tampil beda” dari sudut pandang yang lain meskipun hal kecil seperti ini bukan tanpa resiko: dianggap berbeda atau tidak update dengan budaya kekinian. Semoga kita semua bukan hanya menjadi korban sebuah trend dan senantiasa bersemangat untuk menguji segala sesuatu meskipun itu hanya sebuah hal kecil yang berkaitan dengan budaya (pakaian). Presiden Soekarno pernah menuliskan "Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang sendirian". Setidaknya itu memotivasi menjadi berbeda bukan sebuah masalah besar sepanjang kita meyakini mengapa kita harus berbeda. Pakaian serba hitam hanyalah merupakan contoh kecil betapa dalam skop yang lebih luas kita harus menyatakan pilihan. Selamat merayakan Jumat Agung bagi yang merayakannya.
Ilustrasi Berani Tampil Beda (garamdunia.com)

0 Response to "Berani Tampil Beda"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel