A house is not always a home
Orang Batak selalu menganggap dan meyakini: “Martondi do jabu” (rumah itu punya roh). Kalau maksudnya bahwa rumah itu punya roh seperti manusia jelas saya tidak setuju, tetapi jika sebuah rumah punya “jiwa” sehingga penghuninya merasa feeling at home saya setuju. Ada banyak alasan untuk selalu merindukan rumah, sebaliknya banyak faktor juga bisa membuat kita merasa tidak nyaman dirumah. Apa kira-kira yang membuat sebuah rumah menjadi tempat yang menyenangkan? Kalau kita mau jujur pastilah suasananya. Lihatlah anak kecil yang ketika merasa nyaman tinggal di sebuah tempat misalnya ketika berlibur ke kampung neneknya yang justru jauh dari kota, dia tidak terpengaruh dengan bentuk fisik dan kemewahan, Mengapa? Mungkin pemandangannya yang indah, udara yang sejuk, tenang dan jauh dari kebisingan serta teman-teman yang ramah bisa membuat seorang anak berurai air mata ketika harus kembali dari liburannya. Itulah jawaban yang paling menggambarkan suasana home.
Cinta
dan kasih sayang, itulah yang menjadikan sebuah rumah menjadi home. Setidaknya
itu tergambar dari lagu berjudul: A House Is Not A Home, liriknya/musiknya
diciptakan: Hal David/Burt Bacharach yang dipopulerkan pada tahun 1981 oleh
Epic Records (Divisi Sony Music Entertainment). Lagu yang dinyanyikan oleh Luther
Vandross tersebut sedikit banyak mengisahkan betapa cinta membuat sebuah rumah
menjadi berarti, terlihat dari sebagian liriknya seperti di bawah ini:
A chair is
still a chair
Even when
there's no one sittin' there
But a chair
is not a house
And a house
is not a home
When there's
no one there to hold you tight
And no one
there you can kiss goodnight
Woah girl
A room is a
still a room
Even when
there's nothin' there but gloom
But a room is
not a house
And a house
is not a home
When the two
of us are far apart
And one of us has a broken heart
Yang jika
diterjemahkan kurang lebih seperti dibawah ini:
Kursi masih merupakan
kursi
Bahkan saat
tidak ada yang duduk di sana
Tapi kursi
bukan rumah
Dan sebuah rumah
bukanlah rumah
Bila tidak
ada seorang pun di sana yang menggenggam Anda erat-erat
Dan tidak seorang
pun di sana yang bisa Anda cium selamat malam
Wah gadis
Kamar masih
kamar
Bahkan saat
tidak ada apa-apa di sana kecuali kegelapan
Tapi ruangan
bukan rumah
Dan sebuah rumah
bukanlah rumah
Saat kita
berdua berjauhan
Dan salah
satu dari kita memiliki hati yang patah
Apa
kesan yang paling anda ingat tentang rumah masa kecil? Semua seluk beluk rumah pastilah
kita hafal dengan baik. Bahkan ketika dewasa dan punya rumah sendiri, kenangan
rumah masa kecil masih kita rindukan. Sebuah rumah menjadi home mengalami
proses dan menjadi berbeda saat kita masih kecil dan dewasa (berumahtangga).
Waktu kecil pastilah yang paling kita rindukan dirumah adalah orangtua dan
saudara kita, namun setelah berumahtangga pastilah anak dan pasangan kita yang
membuat kita ingin cepat-cepat pulang.
Bagaimana
dengan orang yang tidak bisa melupakan rumah masa kecilnya sehingga meskipun
sudah berkeluarga dan tinggal di kota lain menjadi seseorang yang “gila pulang kampung?”
Seseorang yang seolah-olah tidak bisa lepas dari” kenyamanan” oleh orangtua dan
keluarganya. Orang yang tidak bisa mengalihkan cinta dan kasih sayangnya kepada
orang lain. Seharusnya sebagai orang yang dewasa, dia harus menciptakan home di
rumahnya sendiri. Karena seperti lirik lagu diatas orang yang dirindukan adalah
belahan hatinya dan itu berarti bukanlah orangtuanya. Rumah masa kecilnya
adalah home orangtuanya, rumah saat ini yang ditinggali dengan pasangan dan
anak-anaknya seharusnya menjadi home yang baru dan mengalahkan kerinduannya
terhadap rumah masa kecilnya. Itulah ciri sebuah kedewasaan yang ukurannya
abstrak dan hanya bisa dirasakan.
Jelas
bahwa yang menciptakan (pertama sekali berkehendak) home pada sebuah rumah
adalah orang dewasa (orangtua) dan hanya mungkin jika rumah tersebut dipenuhi
dengan cinta dan kasih sayang. Setelah cinta antara ayah dan ibu, selanjutnya
cinta antara anak-anak dan orangtua. Yang terutama dan terpenting adalah cinta
seperti itu hanya mungkin terjadi jika cinta terhadap Tuhan ada terlebih
dahulu, karena hanya orang yang pernah jatuh cinta kepada Tuhan mampu mencintai
sesama (pasangan dan anak-anaknya) dalam arti yang sesungguhnya. Cinta
menjadikan rumah kita sebagai tempat “pelarian” dan “persembunyian” ketika ada
masalah. CInta menjadikan rumah menjadi tempat yang paling kita rindukan ketika
kita bersukacita. Betapa berartinya cinta bagi sebuah rumah karena cinta yang
menjadikan home, bukan sebaliknya rumah yang melahirkan cinta.
Membangun house menjadi home perlu kerja keras bersama pasangan. Reflektif amang
ReplyDeleteTerima kasih inang, tambah semangat untuk menulis
DeleteMantap. Sangat menginspirasi lae. Kenyamanan bersama anggota keluarga lebih utama dari sekedar rumah megah dan barang-barang yang ada di dalamnya.. terima kasih lae
ReplyDeleteMotivasi yang sangat berharga dari lae untuk terus belajar menulis. Terima kasih laeku
DeleteHome adalah tempat dimana kita merasa nyaman merasa diterima dicintai dan tempat dimana org2 yg kita cintai berada.tempat dimana kita sellalu ingin berada disaana selamanya.tx bang terus berkarya dan menjadi berkat bagi banyak orang salam kasih
ReplyDeleteSetuju dekku, terima kasih untuk motivasinya yang sangat berharga
Delete