Pendidikan Anak Membangun Kemandirian dan Kedewasaan
Pendidikan Anak Membangun Kemandirian dan Kedewasaan. Menjadi diri sendiri adalah puncak kedewasaan. Menemukan jati diri, mengalami proses pembentukan dan menangkap/menyerap nilai-nilai kebenaran dalam perjalanan kehidupan menjadi inti kemandirian.
Kasih sayang yang murni dan tulus dari orang tua pun
tidak boleh menghambat perkembangan seorang anak manusia untuk mengalami metamorfosis tersebut. Sebagai layaknya sebuah siklus sang anak pun akan bertransformasi
menjadi orang tua yang akan diperhadapkan pada realitas yang sama seperti pengalaman orang tua sebelumnya.
Masing-masing orang akan menjalani episode yang pada
intinya berulang, misalnya menjadi objek yang dilindungi ketika masih kecil, berubah
kepada seseorang yang mengkhawatirkan ketika mejalani akil balig (emosi labil).
Ketika dewasa dan berkeluarga berlanjut menjadi orang yang melindungi, selanjutnya
mengalami fase mengkuatirkan perkembangan kepribadian anaknya.
Tidak ada seorang pun yang mampu memonopoli peran atau
menahan proses tersebut sehingga seolah-olah ada pihak yang melewati (skip) dan mengalami
percepatan (akselerasi) secara tiba-tiba melompat ke proses selanjutnya. Allah
dalam keadilan-Nya memberikan porsi yang sama besar, sama mudah dan sulitnya
dan signifikansi dampaknya. Kehidupan adalah sekolah dimana semua orang
besar-kecil, tua-muda, orang tua dan anak secara bersama menjadi murid
sedangkan Allah menjadi guru besarnya. “Wis titi wancine” pepatah jawa yang
bermakna telah tiba waktunya, semua orang pasti menjalani peran dan proses yang
sama (ketiban sampur).
Pendidikan Anak Membangun
Kemandirian dan Kedewasaan, Nguwongke Uwong
Banyak orang tua lupa karena rasa sayangnya yang besar mengambil
peran yang seharusnya menjadi bagian anaknya. Mungkin karena secara kebetulan
sang orang tua mengalami dan menjalani proses kehidupan yang sulit pada masa
kecilnya, berharap si anak tidak mengalami “sakit“ yang sama.
Berperan layaknya Lonely Ranger, orang tua secara tidak
sadar menutup kesempatan sang anak berproses dan mengalami sendiri silkus
kehidupan. Sikap yang sama secara sengaja diberikan ketika si anak masih kecil dan perlu dilindungi
terbawa-bawa sampai dewasa.
Ada banyak anak yang akhirnya terbiasa dan nyaman dalam
perlindungan, secara perlahan mengubur potensi yang ada dalam dirinya dan hanya sekedar
menjadi “follower” orang tuanya.
Ketika menghadapi masalah maka sumber referensi dan pertolongan yang pertama
dan utama adalah orang tua. Persoalannya adalah sampai kapan si orang tua ada
dan hidup demi melindungi sang anak?
Nguwongke Uwong, sebuah
pepatah Jawa yang bermakna “memanusiakan manusia” seharusnya menjadi output dan
outcome (tujuan jangka pendek dan panjang) pendidikan anak oleh orang tua. Pembelajaran disini bermakna memberikan
kesempatan kepada si anak mengalami setiap detil proses pembentukan dari yang
paling mudah dan menyenangkan sampai yang paling sulit dan menyeramkan.
Si anak harus mampu berjalan sendiri sampai ke tahap
dimana dia dengan baik mengenal diri sendiri, mengatasi ketakutan dan
kekuatiran, menghadapi persoalan dan mengambil solusi, berani bermimpi dan
berusaha meraihnya hanya dengan doa restu orang tuanya. Setiap lapisan
atau layer dari proses perjalanan
kehidupan, susah-senang, sakit-sehat, mudah-sulit, keras-lembut sama berguna
dan pentingnya dalam kristalisasi kemanusiaannya.
Kemandirian dan Kedewasaan Bukan
Hadiah Atau Pemberian Tetapi Hasil Perjuangan
Meskipun setiap orang tua berhasrat (bukan cuma sekedar
ingin) memberikan yang terbaik dalam proses kehidupan anaknya, tetapi mengabsorbsi
nilai-nilai kehidupan sebagai best practice yang membentuk karakter dan
kepribadian adalah hasil perjuangan dan pencarian sang anak sendiri. Ketika
berhadapan dengan realitas di lapangan, orang tua terbaik sekalipun hanya
menjadi referensi.
Orang tua tidak boleh terjebak oleh karena kecintaan dan
pertalian darah, merasa bahwa perlindungan, pengajaran dan perhatiannya kepada
sang anak menjadi “crème de la crème” (the best person or thing of a particular
kind) dalam pendidikan kehidupan. Sejatinya sang anak akan menemukan intisari
terbaik dalam proses kehidupan yang membuatnya dewasa dan mandiri dengan
pertolongan Tuhan.
Meskipun ada pepatah mengatakan: “orang tua adalah
gambaran Allah yang kita sembah di dunia”, namun otoritas dan kuasa
pemeliharaan Tuhan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan kasih sayang orang
tua. Jangan sampai karena sayangnya sebagai orang tua kita mengambil peran
Allah yang bisa mengakibatkan dampak sebaliknya, karena terbuai dalam rangkulan
orang tua sang anak memberikan sikap takut dan hormat yang seharusnya kepada Allah.
Pendidikan anak dalam keluarga seharusnya menjadikan
relasi orang tua dan anak sebagai dua pribadi yang berbeda, namun pada saatnya
akan menjalankan peran yang sama. Dua pribadi yang sama-sama manusia, yang
secara natural akan mengalami proses lahir/ada, dewasa dan menjadi tua/tiada,
yang dalam setiap masa dan perannya tidak tergantikan oleh dan karena alasan
apapun.
Tugas mendidik anak menjadi pribadi yang mandiri dan
dewasa, sekali lagi merupakan domain orang tua dan keluarga sebagai yang
pertama dan terutama. Sekolah hanya menjadi kawasan dimana sang anak membangun
diskursus dan menguji validitas apa yang diyakininya benar.
0 Response to "Pendidikan Anak Membangun Kemandirian dan Kedewasaan"
Post a Comment