Pernikahan Kristen Ikatan Pertalian Tiga Pihak
Pernikahan
Kristen Ikatan Pertalian Tiga Pihak. Sejatinya dalam sebuah pernikahan Kristen,
tercapai kesepakatan antara tiga pihak yakni keluarga mempelai laki-laki,
keluarga mempelai perempuan dan Allah Sang Pencipta dari mana cinta kasih
berasal.
Uniknya, jika
salah satu pihak menyatakan tidak setuju dalam hal ini keluarga mempelai baik
laki-laki maupun perempuan upacara pernikahan tetap bisa dilanjutkan dengan
adanya wali. Beda halnya jika pihak Allah yang dalam hal ini diwakili gereja
yang tidak setuju maka pernikahan akan batal atau mungkin dilaksanakan di
gereja yang lain. Yang menjadi catatan: sebenarnya sejak awal pihak Allah yang
diwakili gereja memiliki otoritas lebih tinggi dari ketiganya.
Namun ketika
acara ibadah pemberkatan pernikahan selesai dan dilanjutkan dengan acara adat,
posisi pihak Allah seolah-olah tidak penting. Ini terlihat dari posisi tempat
duduk dimana yang lazim hanya mempertemukan pihak laki-laki dan perempuan.
Jarang terlihat di gedung wisma adat ada tempat duduk dengan plang bertuliskan “pihak
gereja”.
Tulisan ini
bukan bertujuan untuk menjadikan gereja sebagai lembaga adat. Gereja tidak bisa
dipisahkan dari adat-istiadat, karena adat dan budaya lebih duluan hadir dari pada
gereja secara formil. Tulisan ini dimaksudkan lebih kepada memaknai pertalian
tiga pihak secara utuh dari awal sampai akhir.
Jika di runut
kedepan, dalam banyak hal dinamika dan persoalan rumah tangga, posisi pihak
Allah yang diwakili gereja bisa menjadi tidak jelas. Misalkan sebuah pernikahan
berakhir dengan perceraian, maka peran pihak Allah akan hilang sama sekali.
Posisinya digantikan Negara yang dalam hal ini diwakili pengadilan negeri atau
agama.
Perceraian Meruntuhkan Pernikahan
Kristen Sebuah Pertalian Tiga Pihak
Sebuah
pepatah kuno orang Batak mengatakan: "togu urat ni bulu, toguan uratni padang,
togu nidok ni uhum toguan nidok ni padan”. Yang jika di terjemahkan secara
langsung berarti: “perjanjian lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan hukum”.
Pernikahan
Kristen adalah perjanjian. Seorang laki-laki dan seorang perempuan berjanji
kepada Tuhan akan bersama-sama dalam suka-duka, susah-senang, sehat-sakit, kaya-miskin sampai akhirnya maut memisahkan. Perjanjian ini di umumkan kepada dan disaksikan
oleh banyak orang.
Ironisnya sebuah keluarga yang pernikahannya di sahkan oleh Allah melalui gereja, perceraiannya justru disahkan oleh Negara melalui pengadilan. Jika orang Kirsten yang bercerai adalah kebetulan berasal dari suku Batak maka dia mengingkari dua hal:
1.
Perjanjian
dengan Allah.
2.
Pepatah/perintah/nasehat orang tua: perjanjian lebih tinggi daripada hukum.
Gereja sejatinya
tidak mengenal perceraian atau pembatalan pernikahan, apalagi orang Batak. Itulah yang mengakibatkan Pak Domu dan Mak Domu merasa Ngeri-Ngeri Sedap dalam sebuah sinema yang ramai dibicarakan belakangan ini. Meskipun dalam praktiknya
ada banyak orang Kristen yang bercerai kemudian menikah dan diberkati kembali.
Yang menjadi catatan: setiap orang Kristen bercerai akan mencari kepastian
hukum melalui pengadilan, tetapi anehnya setiap menikah lagi selalu
mengukuhkan dengan pemberkatan di gereja. Memulai dengan Allah mengakhiri
dengan Negara.
Databoks.katadata.co.id
merilis kasus perceraian meningkat 53 %, data yang bersumber dari Angka
Perceraian di Indonesia (2017-2021) Badan Pusat Statistik (BPS) 25 Februari
2022. Meskipun data perceraian tersebut bukan hanya orang Kristen, namun ini
menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus perceraian dari tahun sebelumnya.
Meneguhkan Pernikahan Kristen Sebuah
Pertalian Tiga Pihak
Sebuah hukum
alam selalu memberi tanda titik awal dan titik akhir. Seperti kelahiran sebagai
permulaan dan kematian sebagai penutup. Keduanya sama-sama dirayakan sebagai
sesuatu yang sakral dan sarat makna meskipun dalam suasana berbeda. Dan tentu
saja pihak Allah/gereja menjadi pemegang kunci dalam keduanya.
Maka sejatinya
pernikahan dan perceraian dalam sebuah keluarga Kristen seharusnya sama-sama dimaknai
dan “dirayakan”. Jika kita menolak dengan mengatakan bahwa perceraian adalah
sebuah bencana, bukankah dalam upacara kematian juga adalah duka? Dimana letak
perbedaannya, bukankah keduanya seharusnya sama-sama ditangisi? Mengapa merayakan duka kematian kita mampu meskipun bersusah payah,
sebaliknya dalam perceraian kita tidak melakukan hal yang sama? Bukankah seseorang
yang bercerai ketika menikah lagi dia akan merayakannya?
Jika sebuah
keluarga Kristen dipersatukan melalu berkat yang diterima di gereja, lantas
ketika bercerai oleh siapa dan dimana berkat tersebut dicabut? Bukankah logikanya
berkat tersebut harus dicabut terlebih dahulu, kemudian seseorang berhak
diberkati kembali ketika memutuskan untuk menikah lagi?
Alkitab dalam
beberapa ayat seperti Matius 19 ayat 9 seolah-olah mengizinkan perceraian oleh
karena satu hal: zinah. Tetapi dalam Matius 5 ayat 28, memandang perempuan dan
menginginkan dalam hati sudah termasuk perzinahan. Jadi apakah ini bermakna orang
Kristen diperbolehkan kawin cerai?
Dalam
pernikahan Kristen tidak ada perceraian. Jika seseorang pun menceraikan
pasangannya karena berzinah, pertanyaan yang belum terjawab: siapa yang
mencabut dan membatalkan berkat sebelumnya di gereja yang diterima pasangan
tersebut? Sampai hari ini belum pernah ada ibadah pebatalan pemberkatan pernikahan di
gereja manapun di seluruh dunia.
Dalam
perzinahan, seolah-olah kita diberikan mandat untuk menghakimi orang lain.
Padahal dalam agama Kristen, penghakiman adalah milik Allah. Tidak ada
seseorang bahkan yang paling suci sekalipun berhak menghakimi sesamanya.
Pengadilan dan hakim pun hanya perangkat yang mewakili Allah untuk ketertiban
umum, penghakiman sebenarnya terjadi di akhirat. Jika dalam perzinahan kita
merasa berhak menghakimi dan menceraikan pasangan kita, bagaimana jika di saat
yang sama Allah juga berkata: “siapa yang tidak pernah berzinah sekalipun dalam
hati, silahkan menceraikan pasangannya!”
0 Response to " Pernikahan Kristen Ikatan Pertalian Tiga Pihak"
Post a Comment