Pendidikan Toleransi Terbaik Dimulai Dari Keluarga
Pendidikan
Toleransi Terbaik Dimulai Dari Keluarga. Kesadaran bahwa keyakinan adalah
urusan pribadi seorang anak manusia dengan Tuhannya, dengan usaha dan upaya
apapun tidak bisa diwakilkan apalagi di boncengkan kepada orang lain merupakan
dalil yang harus kita sepakati bersama untuk mampu menghormati dan menghargai mereka
yang berbeda keyakinan dengan kita.
Di daerah dimana saya lahir dan dibesarkan, Desa Tigaras,
Kecamatan Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara dua
keyakinan yang berbeda telah hidup berdampingan sejak lama. Ada banyak keluarga
yang saya sebut sebagai “keluarga pelangi” dimana sebuah keluarga beragama A
kemudian anaknya menikah dan memeluk agama B. Uniknya, hubungan baik tetap
terjaga bahkan setelah memeluk agama tertentu sekalipun adat-istiadat dan
tradisi yang terbina sejak lama tidak hilang dan terjaga dengan baik.
Sama penting dan berharganya adat istiadat dan tradisi meskipun
memeluk keyakinan berbeda merupakan salah satu penyebab jalinan keluarga tetap
terjalin meskipun seorang anak dapat disebut telah: “murtad”. Orang tua tetap
memberikan perhatian dan kasih sayang sebagaimana sebelumnya dan sang anak tetap
menjalani peran sebagai anggota keluarga meskipun secara keyakinan sudah
berbeda.
Bahkan dalam pengamatan dan keyakinan penulis, toleransi
beragama di daerah tersebut lebih cenderung karena faktor kekerabatan “keluarga
pelangi” tadi, daripada pemahaman dan implementasi Pendidikan Moral Pancasila
yang di pelajari di sekolah. Hubungan yang tetap terjaga dengan baik dan peran
anggota keluarga yang tidak berubah setelah memeluk agama berbeda menjadi
sesuatu yang unik dan pantas dibanggakan warga pesisir Danau Toba tersebut.
Pendidikan Toleransi Terbaik
Dimulai Dari Keluarga Menuntut Kesadaran Orang Tua
Bagaimana sikap orang tua menghadapi kenyataan anak yang
dikasihinya setelah besar dan dewasa memilih untuk memeluk keyakinan yang
berbeda? Sejujurnya rasa sedih pasti ada, merasa gagal dan tidak mampu
meneruskan keyakinan yang telah dipupuk sejak lama. Benarkan sang orang tua
telah gagal, perlu menelisik persoalannya secara lebih dalam.
Persoalan utama sebenarnya adalah banyak orang tua yang
merasa mampu membonceng dan berkontribusi agar anaknya “masuk surga”. Padahal
setidaknya ada dua hal utama dan sangat prinsipil dimana seorang anak manusia
harus menentukan sendiri keputusannya. Pertama adalah kepada siapa (Tuhan) dia menyembah,
dan kedua kepada siapa dia menikah (berkeluarga).
Setiap keluarga harusnya sadar bahwa sebagai orang tua
hanya di mungkinkan untuk memberikan pendidikan agama terbaik dan juga
referensi membangun keluarga terhebat. Pada saatnya sang anak harus memilih dan
memutuskan sendiri, karena dua hal tersebut merupakan tanggungjawab pribadi.
Segala konsekuensi akibat pilihan tersebut akan mengikut dengan sendirinya (include). Dalam hal ini berlaku pepatah,
Tangan Mencencang Bahu Memikul.
Melihat dan memperlakukan seseorang yang murtad dalam
pandangan manusia sebagai ciptaan Tuhan bukan berarti mengampangkan atau
menganggap kecil persolan tersebut. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa
seorang anak manusia hadir di dunia dan akan mempertanggungjawabkan
kehidupannya sendiri kepada Tuhannya. Segala sesuatu baik buruknya sebagai
konsekuensi logis dari pilhan dan keputusannya di emban sendiri ketika
penghakiman yang hakiki dihadapan Sang Kuasa.
Toleransi Dimulai Dari Keluarga Dan
Penting Dipupuk Sejak Dini
Sangat ironis melihat sebuah keluarga yang terpecah
karena perbedaan keyakinan. Merunut kebelakang hubungan darah dalam keluarga
adalah yang pertama hadir untuk selanjutnya sesuai dengan perkembangan nalar
dan pola pikir hubungan pribadi dengan Tuhan semakin mengkristal dan mengalami “pengenalan”
pada tahap tertinggi. Hal ini berarti dalam relasi orang tua dan anak hubungan
darah berusia lebih tua dari pada keyakinan.
Ada banyak orang tua yang merasa gagal dan bahkan sampai
depresi (mungkin bunuh diri) ketika mendapati kenyataan anaknya pada akhirnya memeluk
keyakinan berbeda. Status sebagai tokoh yang dihormati di masyarakat bisa
mengakibatkan perbedaan ini menjadi hal yang hampir mustahil diterima dengan
legawa.
Ada banyak catatan yang mengisahkan drama betapa
perbedaan keyakinan bisa menjadi sesuatu yang tragis jika disikapi dengan
perpektif yang salah. Menganggap sang anak telah “mati” menjadi salah satu
contoh sebuah keluarga yang berusaha menafikan kemungkinan munculnya perbedaan
keyakinan dalam dinamika keluarga.
Pengingkaran terhadap hak azasi manusia menjadi sebuah
kemunduran pola pikir yang hanya bisa dibandingkan dengan zaman purba ketika
agama belum hadir di dunia ini. Memaksakan keyakinan terhadap anak juga
merupakan gambaran orang tua yang seolah menjadi Tuhan (kuasa dan kepemilikan
absolut). Anak seharusnya lahir dan hadir bukan hanya sebagai bukti cinta kasih
kedua orang tuanya namun merupakan bagian dari rencana (grand design) Allah Sang Maha Pencipta.
Mendudukkan persoalan perbedaan keyakinan sebagai sebuah keniscayaan dari sebuah dunia yang beragam, terutama dalam keluarga merupakan hal yang penting di pikirkan dan dibicarakan dengan serius. Jika perbedaan dalam konteks keluarga kecil saja menjadi sesuatu yang berakibat konflik dan permusuhan, mustahil membayangkan toleransi beragama dalam skop dalam masyarakat yang lebih luas. Sekali lagi keluarga menjadi media dan inkubator terbaik dalam menanamkan nilai-nilai pluralisme, Pendidikan Toleransi Terbaik Dimulai Dari Keluarga.
0 Response to "Pendidikan Toleransi Terbaik Dimulai Dari Keluarga"
Post a Comment