Pendidikan Demokrasi Terbaik Dimulai Dari Keluarga
Pendidikan Demokrasi Terbaik Dimulai Dari Keluarga. Bagaimana
rasanya melihat dan mengenal sebuah keluarga yang tetap rukun bahkan sampai setelah
beberapa generasi, misalnya dimulai dari orang tua, anak, cucu sampai cicit namun pertalian keluarga masih mengakar
kuat. Bukan sekedar terhubung misalnya bertemu dalam acara adat, tetapi lebih
dari itu silaturahmi yang terasa masih sama kualitasnya seperti berpuluh tahun
sebelumnya. Kondisi demikian pasti sesuatu yang di inginkan dan dirindukan oleh
banyak orang.
Menjaga keharmonisan sebuah keluarga besar dalam rentang waktu puluhan tahun bukanlah hal yang mudah. Ada banyak dinamika yang menyebabkan jurang perbedaan semakin dalam seiring dengan berjalannya waktu. Perbedaan status sosial, perbedaan kepentingan, bahkan perbedaan latar belakang keluarga ketika anak cucu tersebut berumah tangga dan menjadi bagian dari sebuah keluarga besar yang lain menjadi hal yang sangat memungkinkan menjauhkan anak yang satu dengan yang lain.
Perbedaan menjadi kata kunci, diperhadapkan pada situasi
berbeda bisa menurunkan makna pertalian keluarga. Ketika sebuah keluarga masih
sebatas orang tua dan anak (dua generasi), sejatinya perbedaan sudah terjadi
dalam banyak faktor namun masih dalam batasan keluarga tersebut dan
diselesaikan orang tua. Kemudian ketika anak menjadi sebuah keluarga yang baru,
perbedaan tersebut semakin membesar yang memberikan pengaruh dan dampak terhadap
keutuhan keluarga besar.
Bagaimana jika dalam keluarga tersebut tidak dididik dan
terbiasa dengan perbedaan, dimana demokrasi hanya dimaklumi seolah-olah hanya
ketika Pemilu berlangsung. Maka perbedaan cenderung mengakibatkan
pengkotak-kotakan, yang kepentingan dan seleranya sama membentuk kelompok yang
eksklusif dan menjadi oposisi dari anggota keluarga yang berseberangan. Dalam
hal ini orang tua perlu memandang bahwa demokrasi seharusnya dimulai dari
keluarga sejak dini.
Pendidikan Demokrasi Terbaik
Dimulai Dari Keluarga Dan Penting Di Pupuk Sejak Dini
Ada banyak keluarga yang menafikan perbedaan dan
perdebatan dalam acara keluarga, misalnya dalam obrolan setelah makan bersama. Sebaik mungkin di jaga agar jangan sampai
terjadi konflik yang bersumber dari perbedaan. Pantang berdebat dalam acara
keluarga dan pendapat orang tua menjadi penentu akhir (veto) terhadap setiap
persoalan yang ada. Perdebatan yang alot sampai kepada perubahan intonasi dan nada suara
adalah sebuah aib yang memalukan.
Selain itu juga ada banyak keluarga yang menganggap “tabu”
menyalahkan orang tua. Orang tua seolah-olah menjadi Tuhan kedua yang tidak
mungkin salah. Seperti sebuah anekdot: Pasal (1) dilarang menyalahkan orang
tua, dan Pasal (2) jika orang tua bersalah lihat kembali Pasal (1). Perdebatan
yang wajar dan diskusi yang seru sebagai cerminan demokrasi sebuah keluarga
tidak akan terpancar dari keluarga ini.
Dalam perjalanan waktu setelah anak-anak dewasa dan punya
kehidupan masing-masing, ada banyak perbedaan yang tidak mungkin disatukan.
Ketika orang tua akhirnya menghadap Tuhan, ujian yang sebenarnya terhadap
demokrasi keluarga sedang di mulai. Pada saat ini beban terberat ada pada anak
paling besar terutama laki-laki yang secara otomatis menjadi penerus
kepemimpinan keluarga. Ketika pemimpin yang baru tidak punya kapasitas menjadi
penengah yang demokratis, perbedaan akan menimbulkan perpecahan.
Pada fase ini menjadi penting betapa perbedaan dan perdebatan
adalah hal manusiawi dan tidak seharusnya dipendam untuk alasan kerukunan
sesaat yang justru memperlihatkan di permukaan terlihat adem ayem tetapi di
dalam bisa saja membara. Orang tua harus memastikan bahwa ada forum perbedaan
dan perdebatan di diskusikan, diselesaikan dengan elegan dan setiap aspirasi dari anak-anak
tersalurkan dengan baik.
Pola Asuh Keluarga Yang Salah
Bisa Merugikan Sampai Tiga Generasi Ke Depan
Keluarga sejatinya menjadi tempat pendidikan terkait
banyak hal. Demikian juga dengan demokrasi, keluarga menjadi tempat belajar dan
praktek yang pertama dan terutama. Diskusi dua arah (orang tua bukan yang
paling tahu dan paling benar) akan
tercipta jika perbedaan dan perdebatan di selesaikan dalam budaya yang benar.
Disadari atau tidak anak-anak yang tidak terbiasa dengan “demokrasi
keluarga” akan menjadi benturan bukan hanya dengan kakak dan adik yang sedarah
tetapi juga dengan keluarga yang lain dimana dia menjadi menantu. Perbedaan dan
perdebatan yang ringan sekalipun bisa berakhir dengan permusuhan, minimal
saling diam (dalam bahasa Batak “marsanding”). Setiap perbedaan dan perdebatan
yang meninggalkan goresan selayaknya lahir dari ketiadaan demokrasi dalam
institusi keluarga. Sikap yang kurang baik ini bisa ditularkan dan menjadi
contoh yang buruk bahkan sampai ke anak cucu.
Sebaliknya keluarga yang menjadikan demokrasi dimana
perbedaan dan perdebatan dibahas dalam diskusi yang elegan, akan melahirkan
anak-anak yang bukan saja memberikan respek terhadap saudara sekandung bahkan
dua sampai tiga tingkat keluar misalnya kepada ipar atau ponakan. Persaudaraan
yang tetap terasa, meskipun berbeda bahkan dalam perbedaan yang sangat prinsipil seperti
keyakinan. Penghormatan diberikan selayaknya kepada keluarga dan tanpa syarat
harus dalam posisi dan kepentingan yang sama.
Bayangkan seorang keponakan yang dalam bahasa Batak “bere” ketika berjumpa dengan anak pamannya (lae) memberikan sikap dan penghormatan yang sama seolah-olah sedang berhadapan dengan pamannya (tulang). Ini menjadi sesuatu yang sulit jika perbedaan dan demokrasi tidak dibiasakan. Sepintas ini hal yang biasa, namun itu tidak mungkin terjadi jika pendidikan tentang menjaga hubungan baik dalam perbedaan sekalipun (erat kaitannya dengan demokrasi) tidak ditanamkan dalam keluarga sejak dini. Penting disadari Pendidikan Demokrasi Terbaik Dimulai Dari Keluarga
0 Response to "Pendidikan Demokrasi Terbaik Dimulai Dari Keluarga"
Post a Comment